Minggu, 01 Desember 2013

Askep ARDS



BAB I
PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG
ARDS juga dikenal dengan edema paru nonkardiogenik, adalah sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan progresif kandungan oksigen arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius. ARDS biasanya membutuhkan ventilasi mekanis yang lebih tinggi dari tekanan jalan napas normal. Terdapat kisaran yang luas dari factor yang berkaitan dengan terjadinya ARDS, termasuk cedera langsung pada paru-paru (seperti inhalasi asap) atau gangguan tidak langsung pada tubuh (seperti syok).
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan ARDS. Tujuan penyajian makalah ini adalah sebagai bagian dari metode pembelajaran di STIKes WIRA MEDIKA PPNI Bali dan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai sistem respirasi. Pemahaman dan pendalaman yang lebih baik akan membantu dalam menambah wawasan mengenai gangguan sistem respirasi

B.   PERMASALAHAN
Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan ARDS?

C.   TUJUAN DAN MANFAAT
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok yang di berikan oleh dosen mata kuliah Sistem respirasi dan untuk menambah wawasan tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan ARDS.

D.   METODE
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah kepustakaan dan media kepustakaan lainnya.


BAB II
PEMBAHASAN
A.     Konsep Dasar Penyakit
1.      Anatomi Fisiologi Parnapasan
Pengertian bernapas secara harfiah adalah perpindahan oksigen (O2) dari udara menuju ke sel-sel tubuh dan keluarnya karbondioksida (Co2) dari sel-sel menuju udara bebas.
Sistem pernapasan atas terdiri dari hidung, faring, sampai ke laring. Sedangkan saluran pernapasan bawah meliputi trakea, bronkus, bronkiolus dan paru-paru yang berujung pada alveolus.  Saluran pernapasa dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia. Gerakan silia akan mendorong lapisan mucus ke dalam sistem pernapasan bawah menuju faring, dimana mucus akan tertelan atau dibatukkan. Setelah itu, udara mengalir turun melalui trakea, bronkus, bronkiolus dan sampai ke duktus alveolus.Trakea dan bronkus memiliki kartilago (cincin tulang rawan) pada dindingnya, tetapi memiliki lebih sedikit otot polos. Paru-paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut dan terletak di dalam rongga dada atau toraks. Di rongga dada terdapat lapisan tipis yang kontinyu mengandung kolagen dan jaringa elastic yang disebut pleura. Pleura parientalis melapisi rongga dada, sedangkan yang menyelubungi paru-paru disebut pleura viseralis. Di antara kedua pleura tersebut terdapat lapisan tipis cairan pleura yang berfungsi memudahkan kedua permukaan bergerak selama pernapasan.
Pernapasan spontan dihasilkan oleh picuan secara ritmik pada saraf motor yang menginervasi otot-otot pernapasan. Otot-otot pernapasan pada pola pernapasan regular diatur oleh pusat pernapasan yang terdiri dari neuron dan reseptor pada pons dan medulla oblongata.

2.    Definisi
Acute Respiratory Distress Syndrome merupakan keadaan gagal napas yang timbul secara mendadak. Sulit untuk membuat definisi secara tepat, karena patogenensisinya belum jelas dan terdapat banyak faktor redis posisi seperti syok karena perdarahan, sepsis, ruda paksa/trauma pada paru atau bagian tubuh lainnya, pankteatitis akut, aspirasi cairan lambung, intoksikasi heroin, atau metadon.
Sindrom gawat napas akut juga dikenal dengan edema paru nonkardiogenik. Sindrom ini  merupakan sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan progresif kandungan oksigen di arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius. ARDS biasanya membutuhkan ventilasi mekanik yang lebih tinggi dari tekanan jalan napas normal. Terdapat kisaran yang luas dari faktor yang berkaitan dengan terjadinya ARDS termasuk cedera langsung pada paru (seperti inhalasi asap) atau gangguan tidak langsung pada tubuh (seperti syok).

3.    Etiologi
ARDS dapat terjadi akibat cedera langsung kapiler paru atau alveolus. Namun, karena kapiler dan alveolus berhubungan sangat erat, maka destruksi yang luas pada salah satunya biasanya menyebabkan estraksi yang lain. Hal ini terjadi akibat pengeluaran enzim-enzim litik oleh sel-sel yang mati, serta reaksi peradangan yang terjadi setelah cedera dan kematian sel. Contoh-contoh kondisi yang mempengaruhi kapiler dan alveolus disajikan di bawah ini.
Destruksi kapiler, apabila kerusakan berawal di membran kapiler, maka akan terjadi pergerakan plasma dan sel darah merah ke ruang interstisium. Hal ini meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbon dioksida untuk berdifusi, sehingga kecepatan pertukaran gas menurun. Cairan yang menumpuk di ruang interstisium bergerak ke dalam alveolus, mengencerkan surfaktan dan meningkatkan tegangan permukaan. Gaya yang diperlukan untuk mengembangkan alveolus menjadi sangat meningkat. Peningkatan tegangan permukaan ditambah oleh edema dan pembengkakan ruang interstisium dapat menyebabkan atelektasis kompresi yang luas.
Destruksi Alveolus apabila alveolus adalah tempat awal terjadinya kerusakan, maka luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran gas berkurang sehingga kecepatan pertukaran gas juga menurun. Penyebab kerusakan alveolus antara lain adalah pneumonia, aspirasi, dan inhalasi asap. Toksisitas oksigen, yang timbul setelah 24-36 jam terapi oksigen tinggi, juga dapat menjadi penyebab kerusakan membran alveolus melalui pembentukan radikal-radikal bebas oksigen.
Tanpa oksigen, jaringan vaskular dan paru mengalami hipoksia sehingga semakin menyebabkan cedera dan kematian sel. Apabila alveolus dan kapiler telah rusak, maka reaksi peradangan akan terpacu yang menyebabkan terjadinya edema dan pembengkakan ruang interstitium serta kerusakan kapiler dan alveolus di sekitarnya. Dalam 24 jam setelah awitan ARDS, terbentuk membran hialin di dalam alveolus. Membran ini adalah pengendapan fibrin putih yang bertambah secara progesif dan semakin mengurangi pertukaran gas. Akhirnya terjadi fibrosis menyebabkan alveolus lenyap. Ventilasi, respirasi dan perfusi semuanya terganggu. Angka kematian akibat ARDS adalah sekitar 50%.

4.    Tanda dan Gejala
ARDS biasanya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan awal pada paru. Awalnya pasien akan mengalami dispnea, kemudian biasanya diikuti dengan pernapasan yang cepat dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral dan perifer, bahkan tanda yang khas pada ARDS ialah tidak membaiknya sianosis meskipun pasien sudah diberi oksigen. Sedangkan pada auskultasi dapat ditemui ronkhi basah kasar, serta kadang wheezing.
Diagnosis dini dapat ditegakkan jika pasien mengeluhkan dispnea, sebagai gejala pendahulu ARDS. Diagnosis presumtif dapat ditegakkan dengan pemeriksaan analisa gas darah serta foto toraks. Analisa ini pada awalnya menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO­2 sangat rendah, PaCO2 normal atau rendah, serta peningkatan pH). Foto toraks biasanya memperlihatkan infiltrat alveolar bilateral difus yang mirip dengan edema paru atau batas-batas jantung, namun siluet jantung biasanya normal. Bagaimanapun, belum tentu kelainan pada foto toraks dapat menjelaskan perjalanan penyakit sebab perubahan anatomis yang terlihat pada gambaran sinar X terjadi melalui proses panjang di balik perubahan fungsi yang sudah lebih dahulu terjadi.
PaO­2 yang sangat rendah kadang-kadang bersifat menetap meskipun konsentrasi oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini merupakan indikasi adanya pintas paru kanan ke kiri melalui atelektasis dan konsolidasi unit paru yang tidak terjadi ventilasi. Keadaan inilah yang menandakan bahwa paru pasien sudah mengalami bocor di sana-sini, bentuk yang tidak karuan, serta perfusi oksigen yang sangat tidak adekuat.
Setelah dilakukan perawatan hipoksemia, diagnosis selanjutnya ditegakkan dengan bantuan beberapa alat. Untuk menginvestigasi adanya gagal jantung dapat dipasang kateter Swan-Ganz, dari sini dapat dilihat bahwa pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) akan terukur rendah (<18 mmHg) pada ARDS serta meningkat (>20 mmHg) pada gagal jantung. Jika terdapat emboli paru (keadaan yang menyerupai ARDS) mesti dieksplorasi hingga pasien stabil sambil mencari sumber trombus yang mungkin terdapat pada pasien, misalnya dari DVT. Pneumosystis carinii dan infeksi-infeksi paru lainnya patut dijadikan diagnosis diferensial, terutama pada pasien-pasien imunokompromais.
5.    Patofisiologi
ARDS terjadi sebagai akibat cedera pada membran kapiler alveolar yang mengakibatkan kebocoran cairan ke dalam ruang interstisial alveolar dan perubahan dalam jaring-jaring kapiler. Terdapat ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (V/Q) yang jelas akibat kerusakan pertukaran gas dan pengalihan ekstensif darah dalam paru-paru. ARDS menyebabkan penurunan dalam pembentukan surfaktan yang mengarah pada kolaps alveolar. Komplians paru menjadi sangat menurun (paru-paru kaku). Akibatnya adalah penurunan karakteristik dalam kapasitas residual fungsional, hipoksia berat, dan hipokapnea.
ARDS telah menunjukan hubungan dengan angka kematian hingga setinggi 50% sampai 60%. Angka bertahan hidup sedikit meningkat ketika penyebabnya dapat ditentukan, serta diobati secara dini dan agresif, terutama penggunaan tekanan ekspirasi akhir positif (PPEP).
Sindrom gagal napas (ARDS) selalu berhubungan dengan penambahan cairan dalam paru. Sindrom ini merupakan suatu edema paru karena kelainan jantung. Perbedaannya terletak pada tidak adanya peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru. Dari segi histologist, mula-mula terjadi kerusakan membrane kapiler- alveoli selanjutnya terjadi peningkatan permeabilitas endothelium kapiler paru dan epitel alveoli  yang mengakibatkan terjadinya edema alveoli dan interstitial. Untuk mengetahui lebih banyak tentang edema paru pada ARDS, penting untuk mengetahui hubungan struktur dan fungsi alveoli.
Membrane alveoli terdiri atas dua tipe sel, yaitu sel Tipe I (Tipe A), sel penyokong yang tidak mempunyai mikrovili  dan amat tipis. Sel Tipe II (Tipe (B) berbentuk hampir seperti kubus dengan mikrovili dan merupakan sumber utama surfaktan alveoli. Sekat pemisah udara dan pembuluh darah disusun dari sel Tipe I atau Tipe II dengan membrane basal endothelium dan sel endothelium.
Bagian membrane kapiler alveoli yang paling tipis mempunyai tebal 0,15 µm. sel pneumosit Tipe I amat peka terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh berbagai zat yang terinhalasi. Jika terjadi sekat pemisah alveoli-kapiler. Pada kerusakan mendadak paru, mula-mula terjadi peradangan interstitial, edema dan perdarahan yang disertai dengan proliferasi sel Tipe II yang rusak. Keadaan peradangan ini dapat membaik secara lambat atau membentuk fibrosis paru yang luas.
Sel endotel mempunyai celah yang dapat menjadi lebih besar daripada 60 Å sehingga terjadi perembesan cairan dan unsure-unsur lain darah ke dalam alveoli dan terjadi edema paru. Mula-mula cairan berkumpul di interstisium dan jika kapasitas interstisium terlampaui, alveoli mulai terisi menyebabkan atelektasis kongesti dan terjadi hubungan intrapulmoner (shunt).
Mekanisme kerusakan endotel pada ARDS dimulai dengan aktivasi komplemen sebagai akibat trauma, syok dan lain-lain. Selanjutnya aktivasi komplemen akan menghasilkan C5a yang menyebabkan granulosit teraktivasi dan menempel serta merusak endothelium mikrovaskular paru, sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler paru. Agregasi granulosit neutrofil merusak sel endothelium dengan melepas protease yang menghancurkan struktur protein seperti kolagen, elastin dan fibronektin, dan proteolisis protein plasma dalam sirkulasi seperti faktor Hageman, fibrinogen, dan komplemen (Yusuf, 1996).
Beberapa hal yang menyokong peranan granulosit dalam proses timbulnya ARDS adalah fakta adanya granulositopenia yang berat pada binatang percobaan dengan ARDS karena terkumpulnya granulosit dalam paru.
Biopsi paru dari klien dengan ARDS menunjukkan juga adanya pengumpulan granulosit yang tidak normal dalam parenkim paru. Granulosit yang teraktivasi mampu melepaskan enzim proteolitik seperti elastase, kolagenase dan oksigen radikal yang dapat menghambat aktivitas antiprotease paru.
Endotoksin bakteri, aspirasi asam lambung, dan intoksikasi oksigen dapat merusak sel endothelium arteri pulmonalis dan leukosit neutrofil yang teraktivasi akan memperbesar kerusakan tersebut. Histamine, serotonin, atau bradikinin dapat menyebabkan kontraksi pada sel endothelium dan mengakibatkan pelebaran porus interselular serta peningkatan permeabilitas kapiler.
Adanya hipotensi dan pankreastitis akut dapat menghambat produksi surfaktan dan fosfolipase A. selain itu cairan edema terutama fibrinogen akan menghambat produksi dan aktivitas surfaktan sehingga menyebabkan mikroatelektasis dan sirkulasi venoarterial bertambah. Adanya pertambahan aliran kapiler sebab hipotensi, hiperkoagulabilitas dan asidosis, hemolisis, toksin bakteri dan lain-lain dapat merangsang timbulnya koagulasi intravascular tersebar (disseminated intravascular coagulation-DIC).
Adanya peningkatan permeabilitas akan menyebabkan cairan merembes ke jaringan interstitial dan alveoli, menyebabkan edema paru atelektasis kongesti yang luas. Terjadi pengurangan volume paru, paru menjadi kaku dan komplians (compliance) paru menurun. Kapasitas residu fungsional (fungtional residual capacity-FRC) juga menurun. Hipoksemia merupakan gejala penting ARDS dan penyebab hipoksemia adalah ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, hubungan arterio-venous (aliran darah mengalir ke alveoli yang kolaps), dan kelainan difusi alveoli-kapiler akibat penebalan dinding alveoli-kapiler.
Peningkatan permeabilitas membrane alveoli-kapiler menimbulkan edema interstitial dan alveolar serta atelektasis alveolar, sehingga jumlah udara sisa pada paru di akhir ekspirasi normal dan kapasitas residu fungsional (FRC) menurun.

6.    Pathway








 


























7.    Pemeriksaan Diagnostik
Analisis gas darah arteri akan memperlihatkan penurunan konsentrasi oksigen arteri. Terapi oksigen tidak efektif untuk ARDS, berapa pun jumlah oksigen yang diberikan, karena difusi gas terbatas akibat penimbunan fibrin, edema, dan rusaknya kapiler dan alveolus.
Sinar x dada: tak terlihat pada tahap awal atau dapat menyatakan sedikit normal, infiltrasi jaringan parut lokasi terpusat pada region perihiliar paru. Pada tahap lanjut, interstisial bilateral difus dan alveolar infiltrate menjadi bukti dan dapat melibatkan semua lobus paru. Infiltrate ini sering digambarkan sebagai kaca-tanah atau whiteouts. Ukuran jantung normal (berbeda dari edema paru kardiogenik).
GDA: seri membedakan gambaran kemajuan hipoksemia (penurunan PaO2 meskipun konsentrasi oksigen inspirasi meningkat). Hipokabnia (penurunan kadar CO2) dapat terjadi pada tahap awal sehubungan dengan kompensasi hiperventilasi. Hiperkabnia (PaCO2 lebih besar dari 50) menunjukkan kegagalan ventilasi. Alkalosis respiratori (pH lebih besar dari 7,45) dapat terjadi pada tahap dini, tetapi asidosis respiratori terjadi pada tahap lanjut sehubungan dengan peningkatan area mati dan penurunan kadar laktat darah, diakibatkan dari metabolic anaerob.
Tes fungsi paru: komplain paru dan volume paru menurun, khususnya FCR. Peningkatan ruang mati (Vd/Vt) dihasilkan oleh area dimana vasokontriksi dan mikroemboli telah terjadi.
Pengukuran pirau (Qs/Qt): mengukur aliran darah pulmonal versus aliran darah sistemik, yang memberikan ukuran klinis pirau intrapulmonal. Pirau kanan ke kiri meningkat.
Gradien alveolar-arterial (gradien A-a): memberikan perbandingan tegangan oksigen dalam alveoli dan darah arteri.Gradien A-a meningkat.
Kadar asam laktat: meningkat.

8.    Penatalaksanaan Medis
Pengobatan ARDS yang pertama-tama adalah pencegahan, karena ARDS tidak pernah merupakan penyakit primer tetapi timbul setelah penyakit lain yang parah. Apabila ARDS tetap timbul, maka pengobatannya adalah:
a.     Diuretik untuk mengurangi beban cairan, dan obat-obat perangsang jantung untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan volume sekuncup agar penimbungan cairan di paru berkurang. Penatalaksanaan cairan dan obat-obat jantung digunakan untuk mengurangi kemungkinan gagal jantung kanan.
b.     Terapi oksigen dan ventilasi mekanis sering diberikan.
c.      Kadang-kadang digunakan obat-obat anti-inflamasi untuk mengurangi efek merusak dari proses peradangan, walaupun efektifitasnya masih dipertanyakan.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1.    Pengkajian
a.    Aktivitas/istirahat
Gejala:
1)    Kekurangan energy/kelelahan
2)    Insomnia
b.    Sirkulasi
Gejala :
Riwayat adanya trauma pada paru dan syok, fenomena embolik (darah, udara, lemak)
Tanda :
1)    TD: dapat normal atau meningkat pada awal (berlanjut menjadi hipoksia): hipotensi terjadi pada tahap lanjut (syok) atau dapat factor pencetus seperti pada eklampsia.
2)    Frekuensi jantung : takikardia biasanya ada.
3)    Bunyi jantung : normal pada tahap dini: S2 (komponen paru) dapat terjadi.
4)    Disritmia dapat terjadi, tetapi EKG sering normal.
5)    Kulit dan membrane mukosa: pucat, dingin. Sianosis biasanya terjadi (tahap lanjut).
c.    Integritas EGO
Gejala :
1)    Ketakutan
2)    Ancaman perasaan takut.
Tanda :
1)    Gelisah
2)    Agitasi
3)    Gemetar
4)    mudah terangsang
5)     perubahan mental.
d.    Makanan/cairan
Gejala :
1)    kehilangan selera makan
2)    mual/muntah
Tanda :
1)    Edema
2)    perubahan berat badan.
3)    Berkurangnya bunyi usus.
e.    Neurosensori
Gejala/tanda :
1)    adanya trauma kepala.
2)    Mental lamban, disfungsi motor.
f.     Pernapasan
Gejala :
1)    adanya aspirasi, inhalasi asap/gas, infeksi disfus paru.
2)    Timbul tiba-tiba atau bertahap, kesulitan napas, lapar udara.

Tanda :
1)    pernapasan: cepat, mendengkur, dangkal.
2)    Peningkatan kerja napas; penggunaan otot aksesori pernapasan, contoh retraksi interkostal atau substernal, pelebaran nasal, memerlukan oksigen konsentrasi tinggi.
3)    Bunyi napas : pada awal normal. Krekels, ronki, dan dapat terjadi bunyi napas bronchial.
4)    Perkusi dada: bunyi pekak di atas area konsolidasi.
5)    Ekspansi dada menurun atau tak sama.
6)    Peningkatan fremitus (getar vibrasi pada dinding dada dengan palpatasi).
7)    Sputum sedikit, berbusa.
8)    Pucat atau sianosis.
9)    Penurunan mental, bingung.
g.    Keamanan
Gejala :
riwayat trauma ortopedik/fraktur, sepsis, transfuse darah, episode anafilaktik.
h.    Seksualitas
Gejala/tanda :
kehamilan dengan adanya komplikasi eklampsia.
2.    Diagnosa Keperawatan
a.    Bersihan jalan napas tidak efektif  berhubungan dengan:
1)     Kehilangan fungsi silia jalan napas (hipoperfusi).
2)     Peningkatan jumlah/viskositas secret paru.
3)     Meningkatnya tahanan jalan napas (edema interstisial).
Ditandai dengan:
1)     Laporan dispnea
2)     Perubahan kedalaman/frekuensi pernapasan, penggunaan otot aksesori untuk bernapas.
3)     Batuk (efektif atau tidak efektif) dengan/tanpa produksi sputum.
4)     Ansietas/gelisah.
b.    Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan:
1)     Akumulasi protein dan cairan dalam interstisial/area alveolar.
2)     Hipoventilasi alveolar.
3)     Kehilangan surfaktan menyebabkan kolaps alveolar.
Ditandai dengan:
1)     Takipnea, penggunaan otot aksesori, sianosis.
2)     Perubahan GDA, gradien A-a, dan tindakan pirau.
3)     Ketidakcocokan ventilasi/perfusi dengan peningkatan ruang mati dan pirau intrapulmonal.
c.    Kelebihan volume cairan berhubungan dengan:
1)    Gangguan mekanisme regulasi
2)    Kelebihan asupan cairan
3)    Kelebihan asupan natrium
Ditandai dengan:
1)    Edema
2)    Gangguan elektrolit
3)    Perubahan pola pernapasan
4)    Asupan melebihi haluaran
5)    Efusi pleura
6)    Dispnea
d.    Ansietas berhubungan dengan:
1)    Krisis situasi
2)    Ancaman/perubahan status kesehatan
3)    Faktor psikologis (hipoksemia)
Ditandai dengan:
1)    Menyatakan masalah sehubungan dengan perubahan kejadian hidup.
2)    Peningkatan tegangan dan tak berdaya.
3)    Ketakutan, takut, gelisah.
e.    Kurangnya pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, kebutuhan terapi berhubungan dengan:
a.    Kurang informasi.
b.    Kesalahan interpretasi informasi.
c.    Kurang mengingat.
Ditandai dengan:
1)     Permintaan informasi.
2)     Pernyataan masalah.


3.    Rencana Keperawatan
Diagnosa Keperawatan: Bersihan jalan nafas tidak efektif
Berhubungan dengan:
a.      Kehilangan fungsi silia jalan napas (hipoperfusi).
b.      Peningkatan jumlah/viskositas secret paru.
c.      Meningkatnya tahanan jalan napas (edema interstisial).
Ditandai dengan:
a.      Laporan dispnea
b.      Perubahan kedalaman/frekuensi pernapasan, penggunaan otot aksesori untuk bernapas.
c.      Batuk (efektif atau tidak efektif) dengan/tanpa produksi sputum.
d.      Ansietas/gelisah.
Kriteria hasil:
a.      Menyatakan/menunjukkan hilangnya dispnea.
b.      Mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih/tak ada ronki.
c.      Mengeluarkan secret tanpa kesulitan.
d.      Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki/mempertahankan bersihan jalan napas.
Intervensi
Rasional
Mandiri:
a.      Catat perubahan upaya dan pola bernapas.


b.      Observasi penurunan ekspansi dinding dada dan adanya/peningkatan fremitus.




c.      Catat karakteristik bunyi napas.











d.      Catat karakteristik batuk (missal, menetap, efektif/tak efektif) juga produksi dan karakteristik sputum.


e.      Pertahankan posisi tubuh/kepala tepat dan gunakan alat jalan napas sesuai kebutuhan

f.       Bantu dengan batuk/napas dalam, ubah posisi dan penghisapan sesuai indikasi.

Mandiri:
a.     Penggunaan otot interkosta/abdominal dan pelebaran nasal menunjukkan peningkatan upaya bernapas.
b.      Ekspansi dada terbatas atau tak sama sehubungan dengan akumulasi cairan, edema, dan secret dalam seksi lobus. Konsolidasi paru dan pengisian cairan dapat meningkatkan fremitus.
c.      Bunyi napas menunjukkan aliran udara melalui pohon trakeobronkial dan dipengaruhi oleh adanya cairan, mucus, atau obstruksi aliran udara lain. Mengi dapat merupakan bukti konstriksi bronkus atau penyempitan jalan napas sehubungan dengan edema. Ronki dapat jelas tanpa batuk dan menunjukkan pengumpulan mukus pada jalan napas.
d.      Karakteristik batuk dapat berubah tergantung pada penyebab/etiologi gagal pernapasan. Sputum, bila ada mungkin banyak, kental, berdarah, dan atau purulen.
e.      Memudahkan memelihara jalan napas atau paten bila jalan napas pasien dipengaruhi mis., gangguan tingkat kesadaran, sedasi dan trauma maksilofasial.
f.       Pengumpulan sekresi mengganggu ventilasi atau edema paru dan bila pasien tidak diintubasi, peningkatan masukan cairan oral dapat mengencerkan/meningkatkan pengeluaran.

Kolaborasi:
a.      Berikan oksigen lembab, cairan IV: berikan kelembaban ruangan yang tepat.
b.      Berikan terapi aerosol, nebulizer ultrasonic.



c.      Bantu dengan/berikan fisoterapi dada, contoh drainase postural: perkusi dada/vibrasi sesuai indikasi.



d.      Berikan bronkidilator, contoh aminofilin, albuterol (proventil): isoetarin (bronkosol) dan agen mukolitik, contoh asetikistein (Mucomyst), guaifenesin (Robitussin).
e.      Awasi untuk efek samping merugikan dari obat, contoh takikardia, hipertensi, tremor, insomnia.
Kolaborasi:
a.    Kelembaban menghilangkan dan memobilisasi secret dan meningkatkan transport oksigen.
b.      Pengobatan dibuat untuk mengirimkan oksigen/bonkodilatasi/kelembaban dengan kuat pada alveoli dan untuk memobilisasi secret.
c.      Meningkatkan drainase/ eliminasi secret paru ke dalam sentral bronkus, dimana dapat lebih siap dibatukan atau dihisap keluar. Meningkatkan efesiensi penggunaan otot pernapasan dan membantu ekspansi alveoli.
d.      Obat diberikan untuk menghilangkan spasme bronkus, menurunkan viskositas secret, memperbaiki ventilsi dan memudahkan pembuangan secret.
e.      Memerlukan perubahan dosis/pilihan obat.


Diagnosa Keperawatan: Gangguan pertukaran gas
Berhubungan dengan:
a.      Akumulasi protein dan cairan dalam interstisial/area alveolar.
b.      Hipoventilasi alveolar.
c.      Kehilangan surfaktan menyebabkan kolaps alveolar.
Ditandai dengan:
a.      Takipnea, penggunaan otot aksesori, sianosis.
b.      Perubahan GDA, gradien A-a, dan tindakan pirau.
c.      Ketidakcocokan ventilasi/perfusi dengan peningkatan ruang mati dan pirau intrapulmonal.
Kriteria hasil:
a.      Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernapasan.
b.      Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam kemampuan/situasi.
Intervensi
Rasional
Mandiri:
a.      Kaji status pernapasan dengan sering, catat peningkatan frekuensi/upaya pernapasan atau perubahan pola napas.


b.      Catat adanya/tidak adanya bunyi napas dan adanya bunyi tambahan, contoh krokels, mengi.







c.      Kaji adanya sianosis









d.      Observasi kecendrungan tidur, apatis, tidak perhatian, gelisah, bingung, somnolen.


e.      Auskultasi frekuensi jantung dan irama.


f.       Berikan periode istirahat dan lingkungan tenang.
g.      Tunjukkan/dorong penggunaan napas bibir bila diindikasikan.



h.     Berikan oksigen lembab dengan masker CPAP sesuai indikasi.


i.       Bantu dengan/berikan tindakan IPPB.








j.        Kaji seri foto dada.

k.      Awasi/gambarkan seri GDA/oksimetri nadi.




l.       Berikan obat sesuai indikasi contoh steroid, antibiotic, bronkodilator, ekspektoran.
Mandiri:
a.    Takipnea adalah mekanisme kompensasi untuk hipoksemia dan peningkatan upaya pernapasan dapat menunjukkan derajat hipoksemia.

b.      Bunyi napas dapat menurun, tidak sama atau tak ada pada area yang sakit. Kreleks adalah bukti peningkatan cairan dalam area jaringan sebagai akibat peningkatan permeabilitas membrane alveolar-kapiler. Mengi adalah bukti kronstriksi bronkus dan/atau penyempitan jalan napas sehubungan dengan mukus/edema.
c.      Penurunan oksigenasi bermakna (desaturasi 5g hemoglobin)terjadi sebelum sianosis. Sianosis sentral dari “organ” hangat, contoh lidah, bibir, dan daun telinga adalah paling indikatif dari hipoksemia sistemik. Sianosis perifer kuku/ekstreminitas sehubungan dengan vasokontriksi.
d.      Dapat menunjukkan berlanjutnya hipoksemia dan/atau asidosis.



e.      Hipoksemia dapat menyebabkan mudah terangsang pada miokardium, menghasilkan berbagai disritmia.
f.       Menghemat energy pasien, menurunkan kebutuhan oksigen.
g.      Dapat membantu khususnya untuk pasien yang sembuh dari penyakit lama/berat, mengakibatkan destruksi parenkim paru.
h.     Memasimalkan sediaan oksigen untuk pertukaran, dengan tekanan jalan napas positif kontinu.
i.       Meningkatkan ekspansi penuh paru untuk memperbaiki oksigenasi dan untuk memberikan obat nebulizer ke dalam jalan napas. Intubasi dan dukungan ventilasi diberikan bila PaO2 kurang dari 60 mmHg dan tidak berespons terhadap peningkatan oksigen murni (FIP2).
j.        Menunjukkan kemajuan atau kemunduran kongesti paru.
k.      Menunjukkan ventilasi/oksigenasi dan status asam/basa. Digunakan sebagai dasar evaluasi keefektifan terapi atau indicator kebutuhan perubahan terapi.
l.       Pengobatan untuk SDPD sangat mendukung lebih besar atau dibuat untuk memperbaiki penyebab SDPD dan mencegah berlanjutnya dan potensial komplikasi fatal hipoksemia. Steroid menguntungkan dalam menurunkan inflamasi dan meningkatkan produksi surfaktan. Bonkodilator/ekspektoran meningkatkan bersihan jalan napas. Antibiotic dapat diberikan pada adanya infeksi paru/sepsis untuk mengobati pathogen penyebab.


Diagnosa Keperawatan: Kelebihan volume cairan
Berhubungan dengan:
a.      Gangguan mekanisme regulasi
b.      Kelebihan asupan cairan
c.      Kelebihan asupan natrium
Ditandai dengan:
a.      Edema
b.      Gangguan elektrolit
c.      Perubahan pola pernapasan
d.      Asupan melebihi haluaran
e.      Efusi pleura
f.       Dispnea
Kriteria hasil:
Mendemonstrasikan volume cairan stabil dengan keseimbangan masukan/keluaran, berat stabil, tanda-tanda vital dalam batas normal dan tidak ada edema.
Intervensi
Rasional
Mandiri:
a.      Pantau pemasukan/pengeluaran. Hitung keseimbangan cairan, catat kehilangan kasat mata. Timabang berat badan sesuai indikasi.
b.      Evaluasi turgor kulit, kelembaban membran mukosa, adanya edema dependen/umum
c.      Pantau tanda vital (tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan). Auskultasi bunyi napas, catat adanya krekel.





d.      Kaji ulang kebutuhan cairan






e.      Hilangkan tanda bahaya dan ketahui dari lingkungan.
f.       Anjurkan pasien untuk minum dan makan dengan perlahan sesuai indikasi.
Mandiri:
a.     Evaluator langsung status cairan. Perubahan tiba-tiba pada berat badan dicurigai kehilanagn/retensi cairan.


b.     Indicator langsung satatus cairan/perbaikan keseimbangan.

c.      Kekurangan cairan mungkin dimanisfestasikan oleh hipotensi dan takikardi, karena jantung mencoba untuk mempertahankan curah jantung. Kelebihan cairan/terjadinya gagal mungkin dimanifestasikan oleh hipertensi, takikardi, takipnea, krekels, distress pernafasan.
d.     Tergantung pasa situasi, cairan dibatasi atau diberikan terus. Pemberian informasi melibatkan pasien pada pembuatan jadwal dengan kesukaan individu dan meningkatkan rasa terkontrol dan kerjasama dalam program.
e.     Dapat menurunkan rangsanagan pusat muntah.
f.       Dapat menurunkan terjadinya muntah bila mual.

Kolaborasi:
a.      Berikan cairan IV melalui alat control


b.      Pemberian anti emetic, contoh: proklorperazin meleat (compazine), trimetobenzamid (tigan), sesuai indikasi.

c.      Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, contoh: Hb/Ht, BUN/kreatinin, protein plasma, elektrolit.
Kolaborasi:
a.     Cairan dapat dibutuhkan untuk mencegah dshidrasi, meskipun pembatasan cairan mungkin diperlukan bila pasien GJK
b.     Dapat membantu menurunkan mual/muntah (berkerja pada sentral, dari pada dig aster) meningkatkan pemasukan cairan/makanan
c.      Mengevaluasi satus hidrasi, fungsi ginjal dan penyebab/efek ketidak seimbangan


Diagnosa Keperawatan: Ansietas
Berhubungan dengan:
a.      Krisis situasi.
b.      Ancaman untuk/perubahan status kesehatan; tskut mati.
c.      Factor psikologis (efek hipoksemia).
Ditandai dengan:
a.      Menyatakan masalah sehubungan dengan perubahan kejadian hidup.
b.      Peningkatan tegangan dan tak berdaya.
c.      Ketakutan, takut, gelisah.
Kriteria hasil:
a.      Menyatakan kesadaran terhadap ansietas dan cara sehat untuk mengatasinya.
b.      Mengakuai dan mendiskusikan takut.
c.      Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat ditangani.
d.      Menunjukkan pemecahan masalah dan penggunaan sumber efektif.
Intervensi
Rasional
Mandiri:
a.      Observasi peningkatan kegagalan pernapasan, agitasi, gelisah, emosi labil.
b.      Pertahankan lingkungan tenang dengan  sedikit rangsang. Jadwalkan perawatan dan prosedur untuk memberikan periode istirahat tak terganggu.
c.      Tunjukkan/bantu dengan teknik relaksasi, meditasi, bimbingan imajinasi.
d.      Identifikasi persepsi pasien terhadap ancaman yang ada oleh situasi.

e.      Dorong pasien untuk mengakui dan menyatakan perasaan.




f.       Akui kenyataan stress tanpa menyangkal atau meyakinkan bahwa segalanya akan baik. Berikan informasi tentang tindakan yang akan diambil untuk memperbaiki/menghilangkan kondisi.

g.      Identifikasi teknik yang telah digunakan pasien sebelumnya untuk mengatasi ansietas.

h.     Bantu orang terdekat untuk berespons positif pada pasien/situasi.



Mandiri:
a.      Memburuknya hipoksemia dapat menyebabkan atau meningkatkan ansietas.
b.      Menurunkan ansietas dengan meningkatkan relaksasi dan penghematan energy.


c.      Memberikan kesempatan untuk pasien menangani ansietasnya sendiri dan merasa terkontrol.
d.      Membantu pengenalan ansietas /takut dan mengidentifikasi tindakan yang dapat membantu untuk individu.
e.      Langkah awal dalam mengatasi perasaan adalah terhadap identifikasi dan ekspresi. Mendorong penerimaan situasi dan kemampuan diri untuk mengatasi.
f.       Membantu pasien menerima apa yang terjadi dan dapat menurunkan tingkat ansietas/takut karena tak tahu. Salah meyakinkan tidak membantu, karena baik perawat dan pasien mengetahui hasil akhirnya.

g.      Focus perhatian pada keterampilan pasien yang telah dilalui, meningkatkan rasa control diri.
h.     Meningkatkan penurunan ansietas melihat orang lain tetap tenang. Karena ansietas dapat menular, bila orang terdekat/staf memperlihatkan ansietas mereka, kemampuan koping pasien dapat dengan mudah dipengaruhi.


Kolaborasi:
Berikan sedative sesuai indikasi dan awasi efek merugikan
Kolaborasi:
Mungkin diperlukan untuk membantu menangani ansietas dan meningkatkan istirahat. Namun efek samping seperti depresi pernapasan sapat membatasi atau kontraindiksi untung menggunakannya.

Diagnosa Keperawatan: Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, kebutuhan terapi
Berhubungan dengan:
a.      Kurang informasi.
b.      Kesalahan interpretasi informasi.
c.      Kurang mengingat.
Ditandai dengan:
a.      Permintaan informasi.
b.      Pernyataan masalah
Kriteria hasil:
a.      Menjelaskan hubungan antara proses penyakit dan terapi.
b.      Menggambarkan/menyatakan diet, obat, dan program aktivitas.
c.      Mengidentifikasi dengan benar tanda dan gejala yang memerlukan perhatian medic.
d.      Membuat rencana untuk perawatan lanjut.
Intervensi
Rasional
Mandiri:
a.      Pacu belajar untuk memenuhi kebutuhan pasien. Berikan informasi dalam cara yang jelas/ringkas. Kaji potensial kerjasama dalam program pengobatan dirumah. Termasuk orang terdekat sesuai indikasi.



b.      Berikan informasi yang berpusat pada penyebab/timbulnya proses penyakit pada pasien/orang terdekat.


c.      Anjurkan dalam tindakan pencegahan, bila diperlukanDiskusikan menghindar kerja berlebihan dan pentingnya mempertahankan periode istirahat teratur. Hindari lingkungan dingin dan orang yang sedang infeksi.
d.      Berikan informasi verbal dan tertulis tentang obat, contoh tujuan, efek samping, rute, dosis, jadwal.
e.      Kaji konseling nutrisi tentang rencana makan; kebutuhan makanan tinggi kalori.



f.       Berikan pedoman untuk aktivitas.





g.      Tunjukan teknik bernapas adaptif dan cara menurunkan kebutuhan energy selama melakukan aktivitas sehari-hari.
h.     Diskusikan evaluasi perawatan, contoh kunjungi dokter, tes diagnostic fungsi paru, dan tanda/gejala yang memerlukan evaluasi/intervensi,



i.       Bantu membuat rencana memenuhi kebutuhan individu setelah pulang.
Mandiri:
a.      Sembuh dari gangguan gagal paru dapat sangat menghambat lingkup perhatian pasien, konsentrasi dan energy untuk penerimaan informasi/tugas baru. Khususnya orang terdekat memerlukan keterlibatan bila proses penyakit berat atau berubah untuk batasan kesembuhan.
b.      SDPD/ARDS adalah komplikasi dari proses lain, bukan diagnose utama. Pasien/orang terdekat sering bingung dengan terjadinya pada sistem pernapasan “sehat” sebelumnya.
c.      Penurunan tahanan menetap selama periode waktu setelah operasi. Kontrol/menghindari pemajanan pada factor lingkungan, seperti asap/debu, reaksi alergis, atau infeksi diperlukan untuk menghindari komplikasi lanjut.

d.      Pemberian instruksi penggunaan obat yang aman memampukan pasien untuk mengikuti dengan tepat program pengobatan.
e.      Pasien dengan masalah pernapasan berat biasanya mengalami penurunan berat badan dan anoreksia sehingga memerlukan peningkatan nutrisi untuk penyembuhan.
f.       Pasien harus menghindari terlalu lelah dan mengimbangi periode istirahat dan aktivitas untuk meningkatkan regangan/stamina dan mencegah konsumsi/kebutuhan oksigen berlebihan.
g.      Kondisi lemah dapat membuat kesulitan untuk pasien menyelesaikan tindakan sedarhana pun.
h.     Pemahaman alasan dan kebutuhan mengikuti evaluasi perawatan, juga kebutuhan untuk perhatian medic meningkatkan partisipasi pasien dan dapat meningkatkan kerjasama dengan program pengobatan.
i.       Memungkinkan kembali ke rumah sementara tetap memberikan dukungan yang diperlukan selama periode penyembuhan/perbaikan.

4.    Implementasi
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang telah dibuat.

5.    Evaluasi
No
Diagnosa Keperawatan
Evaluasi
1
Bersihan jalan tidak efektif
a.      Menyatakan/menunjukkan hilangnya dispnea.
b.      Mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih/tak ada ronki.
c.      Mengeluarkan secret tanpa kesulitan.
d.      Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki/mempertahankan bersihan jalan napas.
2
Gangguan pertukaran gas
a.      Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernapasan.
b.      Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam kemampuan/situasi.
3
Kelebihan volume cairan
Mendemonstrasikan volume cairan stabil dengan keseimbangan masukan/keluaran, berat stabil, tanda-tanda vital dalam batas normal dan tidak ada edema.
4
Ansietas
a.      Menyatakan kesadaran terhadap ansietas dan cara sehat untuk mengatasinya.
b.      Mengakuai dan mendiskusikan takut.
c.      Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat ditangani.
d.      Menunjukkan pemecahan masalah dan penggunaan sumber efektif.
5
Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, kebutuhan terapi
a.      Menjelaskan hubungan antara proses penyakit dan terapi.
b.      Menggambarkan/menyatakan diet, obat, dan program aktivitas.
c.      Mengidentifikasi dengan benar tanda dan gejala yang memerlukan perhatian medic.
d.      Membuat rencana untuk perawatan lanjut.




BAB III
PENUTUP

A.   KESIMPULAN
Acute Respiratory Distress Syndrome merupakan keadaan gagal napas yang timbul secara mendadak. Sulit untuk membuat definisi secara tepat, karena patogenensisinya belum jelas dan terdapat banyak faktor redis posisi seperti syok karena perdarahan, sepsis, ruda paksa/trauma pada paru atau bagian tubuh lainnya, pankteatitis akut, aspirasi cairan lambung, intoksikasi heroin, atau metadon.
 ARDS biasanya membutuhkan ventilasi mekanik yang lebih tinggi dari tekanan jalan napas normal. Terdapat kisaran yang luas dari faktor yang berkaitan dengan terjadinya ARDS termasuk cedera langsung pada paru (seperti inhalasi asap) atau gangguan tidak langsung pada tubuh (seperti syok).

B.   SARAN
Dalam keterbatasan yang penulis miliki, tentunya makalah ini sangat jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, masukan / saran yang baik sangat diharapkan guna memperbaiki dan menunjang proses perkuliahan.














DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8 vol.1.Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Herdman,T.Heather. 2013. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2013. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Doenges,Marilyn.dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Price, Silvia. A. dan Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC.



BAB I
PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG
ARDS juga dikenal dengan edema paru nonkardiogenik, adalah sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan progresif kandungan oksigen arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius. ARDS biasanya membutuhkan ventilasi mekanis yang lebih tinggi dari tekanan jalan napas normal. Terdapat kisaran yang luas dari factor yang berkaitan dengan terjadinya ARDS, termasuk cedera langsung pada paru-paru (seperti inhalasi asap) atau gangguan tidak langsung pada tubuh (seperti syok).
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan ARDS. Tujuan penyajian makalah ini adalah sebagai bagian dari metode pembelajaran di STIKes WIRA MEDIKA PPNI Bali dan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai sistem respirasi. Pemahaman dan pendalaman yang lebih baik akan membantu dalam menambah wawasan mengenai gangguan sistem respirasi

B.   PERMASALAHAN
Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan ARDS?

C.   TUJUAN DAN MANFAAT
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok yang di berikan oleh dosen mata kuliah Sistem respirasi dan untuk menambah wawasan tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan ARDS.

D.   METODE
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah kepustakaan dan media kepustakaan lainnya.


BAB II
PEMBAHASAN
A.     Konsep Dasar Penyakit
1.      Anatomi Fisiologi Parnapasan
Pengertian bernapas secara harfiah adalah perpindahan oksigen (O2) dari udara menuju ke sel-sel tubuh dan keluarnya karbondioksida (Co2) dari sel-sel menuju udara bebas.
Sistem pernapasan atas terdiri dari hidung, faring, sampai ke laring. Sedangkan saluran pernapasan bawah meliputi trakea, bronkus, bronkiolus dan paru-paru yang berujung pada alveolus.  Saluran pernapasa dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia. Gerakan silia akan mendorong lapisan mucus ke dalam sistem pernapasan bawah menuju faring, dimana mucus akan tertelan atau dibatukkan. Setelah itu, udara mengalir turun melalui trakea, bronkus, bronkiolus dan sampai ke duktus alveolus.Trakea dan bronkus memiliki kartilago (cincin tulang rawan) pada dindingnya, tetapi memiliki lebih sedikit otot polos. Paru-paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut dan terletak di dalam rongga dada atau toraks. Di rongga dada terdapat lapisan tipis yang kontinyu mengandung kolagen dan jaringa elastic yang disebut pleura. Pleura parientalis melapisi rongga dada, sedangkan yang menyelubungi paru-paru disebut pleura viseralis. Di antara kedua pleura tersebut terdapat lapisan tipis cairan pleura yang berfungsi memudahkan kedua permukaan bergerak selama pernapasan.
Pernapasan spontan dihasilkan oleh picuan secara ritmik pada saraf motor yang menginervasi otot-otot pernapasan. Otot-otot pernapasan pada pola pernapasan regular diatur oleh pusat pernapasan yang terdiri dari neuron dan reseptor pada pons dan medulla oblongata.

2.    Definisi
Acute Respiratory Distress Syndrome merupakan keadaan gagal napas yang timbul secara mendadak. Sulit untuk membuat definisi secara tepat, karena patogenensisinya belum jelas dan terdapat banyak faktor redis posisi seperti syok karena perdarahan, sepsis, ruda paksa/trauma pada paru atau bagian tubuh lainnya, pankteatitis akut, aspirasi cairan lambung, intoksikasi heroin, atau metadon.
Sindrom gawat napas akut juga dikenal dengan edema paru nonkardiogenik. Sindrom ini  merupakan sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan progresif kandungan oksigen di arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius. ARDS biasanya membutuhkan ventilasi mekanik yang lebih tinggi dari tekanan jalan napas normal. Terdapat kisaran yang luas dari faktor yang berkaitan dengan terjadinya ARDS termasuk cedera langsung pada paru (seperti inhalasi asap) atau gangguan tidak langsung pada tubuh (seperti syok).

3.    Etiologi
ARDS dapat terjadi akibat cedera langsung kapiler paru atau alveolus. Namun, karena kapiler dan alveolus berhubungan sangat erat, maka destruksi yang luas pada salah satunya biasanya menyebabkan estraksi yang lain. Hal ini terjadi akibat pengeluaran enzim-enzim litik oleh sel-sel yang mati, serta reaksi peradangan yang terjadi setelah cedera dan kematian sel. Contoh-contoh kondisi yang mempengaruhi kapiler dan alveolus disajikan di bawah ini.
Destruksi kapiler, apabila kerusakan berawal di membran kapiler, maka akan terjadi pergerakan plasma dan sel darah merah ke ruang interstisium. Hal ini meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbon dioksida untuk berdifusi, sehingga kecepatan pertukaran gas menurun. Cairan yang menumpuk di ruang interstisium bergerak ke dalam alveolus, mengencerkan surfaktan dan meningkatkan tegangan permukaan. Gaya yang diperlukan untuk mengembangkan alveolus menjadi sangat meningkat. Peningkatan tegangan permukaan ditambah oleh edema dan pembengkakan ruang interstisium dapat menyebabkan atelektasis kompresi yang luas.
Destruksi Alveolus apabila alveolus adalah tempat awal terjadinya kerusakan, maka luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran gas berkurang sehingga kecepatan pertukaran gas juga menurun. Penyebab kerusakan alveolus antara lain adalah pneumonia, aspirasi, dan inhalasi asap. Toksisitas oksigen, yang timbul setelah 24-36 jam terapi oksigen tinggi, juga dapat menjadi penyebab kerusakan membran alveolus melalui pembentukan radikal-radikal bebas oksigen.
Tanpa oksigen, jaringan vaskular dan paru mengalami hipoksia sehingga semakin menyebabkan cedera dan kematian sel. Apabila alveolus dan kapiler telah rusak, maka reaksi peradangan akan terpacu yang menyebabkan terjadinya edema dan pembengkakan ruang interstitium serta kerusakan kapiler dan alveolus di sekitarnya. Dalam 24 jam setelah awitan ARDS, terbentuk membran hialin di dalam alveolus. Membran ini adalah pengendapan fibrin putih yang bertambah secara progesif dan semakin mengurangi pertukaran gas. Akhirnya terjadi fibrosis menyebabkan alveolus lenyap. Ventilasi, respirasi dan perfusi semuanya terganggu. Angka kematian akibat ARDS adalah sekitar 50%.

4.    Tanda dan Gejala
ARDS biasanya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan awal pada paru. Awalnya pasien akan mengalami dispnea, kemudian biasanya diikuti dengan pernapasan yang cepat dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral dan perifer, bahkan tanda yang khas pada ARDS ialah tidak membaiknya sianosis meskipun pasien sudah diberi oksigen. Sedangkan pada auskultasi dapat ditemui ronkhi basah kasar, serta kadang wheezing.
Diagnosis dini dapat ditegakkan jika pasien mengeluhkan dispnea, sebagai gejala pendahulu ARDS. Diagnosis presumtif dapat ditegakkan dengan pemeriksaan analisa gas darah serta foto toraks. Analisa ini pada awalnya menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO­2 sangat rendah, PaCO2 normal atau rendah, serta peningkatan pH). Foto toraks biasanya memperlihatkan infiltrat alveolar bilateral difus yang mirip dengan edema paru atau batas-batas jantung, namun siluet jantung biasanya normal. Bagaimanapun, belum tentu kelainan pada foto toraks dapat menjelaskan perjalanan penyakit sebab perubahan anatomis yang terlihat pada gambaran sinar X terjadi melalui proses panjang di balik perubahan fungsi yang sudah lebih dahulu terjadi.
PaO­2 yang sangat rendah kadang-kadang bersifat menetap meskipun konsentrasi oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini merupakan indikasi adanya pintas paru kanan ke kiri melalui atelektasis dan konsolidasi unit paru yang tidak terjadi ventilasi. Keadaan inilah yang menandakan bahwa paru pasien sudah mengalami bocor di sana-sini, bentuk yang tidak karuan, serta perfusi oksigen yang sangat tidak adekuat.
Setelah dilakukan perawatan hipoksemia, diagnosis selanjutnya ditegakkan dengan bantuan beberapa alat. Untuk menginvestigasi adanya gagal jantung dapat dipasang kateter Swan-Ganz, dari sini dapat dilihat bahwa pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) akan terukur rendah (<18 mmHg) pada ARDS serta meningkat (>20 mmHg) pada gagal jantung. Jika terdapat emboli paru (keadaan yang menyerupai ARDS) mesti dieksplorasi hingga pasien stabil sambil mencari sumber trombus yang mungkin terdapat pada pasien, misalnya dari DVT. Pneumosystis carinii dan infeksi-infeksi paru lainnya patut dijadikan diagnosis diferensial, terutama pada pasien-pasien imunokompromais.
5.    Patofisiologi
ARDS terjadi sebagai akibat cedera pada membran kapiler alveolar yang mengakibatkan kebocoran cairan ke dalam ruang interstisial alveolar dan perubahan dalam jaring-jaring kapiler. Terdapat ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (V/Q) yang jelas akibat kerusakan pertukaran gas dan pengalihan ekstensif darah dalam paru-paru. ARDS menyebabkan penurunan dalam pembentukan surfaktan yang mengarah pada kolaps alveolar. Komplians paru menjadi sangat menurun (paru-paru kaku). Akibatnya adalah penurunan karakteristik dalam kapasitas residual fungsional, hipoksia berat, dan hipokapnea.
ARDS telah menunjukan hubungan dengan angka kematian hingga setinggi 50% sampai 60%. Angka bertahan hidup sedikit meningkat ketika penyebabnya dapat ditentukan, serta diobati secara dini dan agresif, terutama penggunaan tekanan ekspirasi akhir positif (PPEP).
Sindrom gagal napas (ARDS) selalu berhubungan dengan penambahan cairan dalam paru. Sindrom ini merupakan suatu edema paru karena kelainan jantung. Perbedaannya terletak pada tidak adanya peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru. Dari segi histologist, mula-mula terjadi kerusakan membrane kapiler- alveoli selanjutnya terjadi peningkatan permeabilitas endothelium kapiler paru dan epitel alveoli  yang mengakibatkan terjadinya edema alveoli dan interstitial. Untuk mengetahui lebih banyak tentang edema paru pada ARDS, penting untuk mengetahui hubungan struktur dan fungsi alveoli.
Membrane alveoli terdiri atas dua tipe sel, yaitu sel Tipe I (Tipe A), sel penyokong yang tidak mempunyai mikrovili  dan amat tipis. Sel Tipe II (Tipe (B) berbentuk hampir seperti kubus dengan mikrovili dan merupakan sumber utama surfaktan alveoli. Sekat pemisah udara dan pembuluh darah disusun dari sel Tipe I atau Tipe II dengan membrane basal endothelium dan sel endothelium.
Bagian membrane kapiler alveoli yang paling tipis mempunyai tebal 0,15 µm. sel pneumosit Tipe I amat peka terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh berbagai zat yang terinhalasi. Jika terjadi sekat pemisah alveoli-kapiler. Pada kerusakan mendadak paru, mula-mula terjadi peradangan interstitial, edema dan perdarahan yang disertai dengan proliferasi sel Tipe II yang rusak. Keadaan peradangan ini dapat membaik secara lambat atau membentuk fibrosis paru yang luas.
Sel endotel mempunyai celah yang dapat menjadi lebih besar daripada 60 Å sehingga terjadi perembesan cairan dan unsure-unsur lain darah ke dalam alveoli dan terjadi edema paru. Mula-mula cairan berkumpul di interstisium dan jika kapasitas interstisium terlampaui, alveoli mulai terisi menyebabkan atelektasis kongesti dan terjadi hubungan intrapulmoner (shunt).
Mekanisme kerusakan endotel pada ARDS dimulai dengan aktivasi komplemen sebagai akibat trauma, syok dan lain-lain. Selanjutnya aktivasi komplemen akan menghasilkan C5a yang menyebabkan granulosit teraktivasi dan menempel serta merusak endothelium mikrovaskular paru, sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler paru. Agregasi granulosit neutrofil merusak sel endothelium dengan melepas protease yang menghancurkan struktur protein seperti kolagen, elastin dan fibronektin, dan proteolisis protein plasma dalam sirkulasi seperti faktor Hageman, fibrinogen, dan komplemen (Yusuf, 1996).
Beberapa hal yang menyokong peranan granulosit dalam proses timbulnya ARDS adalah fakta adanya granulositopenia yang berat pada binatang percobaan dengan ARDS karena terkumpulnya granulosit dalam paru.
Biopsi paru dari klien dengan ARDS menunjukkan juga adanya pengumpulan granulosit yang tidak normal dalam parenkim paru. Granulosit yang teraktivasi mampu melepaskan enzim proteolitik seperti elastase, kolagenase dan oksigen radikal yang dapat menghambat aktivitas antiprotease paru.
Endotoksin bakteri, aspirasi asam lambung, dan intoksikasi oksigen dapat merusak sel endothelium arteri pulmonalis dan leukosit neutrofil yang teraktivasi akan memperbesar kerusakan tersebut. Histamine, serotonin, atau bradikinin dapat menyebabkan kontraksi pada sel endothelium dan mengakibatkan pelebaran porus interselular serta peningkatan permeabilitas kapiler.
Adanya hipotensi dan pankreastitis akut dapat menghambat produksi surfaktan dan fosfolipase A. selain itu cairan edema terutama fibrinogen akan menghambat produksi dan aktivitas surfaktan sehingga menyebabkan mikroatelektasis dan sirkulasi venoarterial bertambah. Adanya pertambahan aliran kapiler sebab hipotensi, hiperkoagulabilitas dan asidosis, hemolisis, toksin bakteri dan lain-lain dapat merangsang timbulnya koagulasi intravascular tersebar (disseminated intravascular coagulation-DIC).
Adanya peningkatan permeabilitas akan menyebabkan cairan merembes ke jaringan interstitial dan alveoli, menyebabkan edema paru atelektasis kongesti yang luas. Terjadi pengurangan volume paru, paru menjadi kaku dan komplians (compliance) paru menurun. Kapasitas residu fungsional (fungtional residual capacity-FRC) juga menurun. Hipoksemia merupakan gejala penting ARDS dan penyebab hipoksemia adalah ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, hubungan arterio-venous (aliran darah mengalir ke alveoli yang kolaps), dan kelainan difusi alveoli-kapiler akibat penebalan dinding alveoli-kapiler.
Peningkatan permeabilitas membrane alveoli-kapiler menimbulkan edema interstitial dan alveolar serta atelektasis alveolar, sehingga jumlah udara sisa pada paru di akhir ekspirasi normal dan kapasitas residu fungsional (FRC) menurun.

6.    Pathway








 


























7.    Pemeriksaan Diagnostik
Analisis gas darah arteri akan memperlihatkan penurunan konsentrasi oksigen arteri. Terapi oksigen tidak efektif untuk ARDS, berapa pun jumlah oksigen yang diberikan, karena difusi gas terbatas akibat penimbunan fibrin, edema, dan rusaknya kapiler dan alveolus.
Sinar x dada: tak terlihat pada tahap awal atau dapat menyatakan sedikit normal, infiltrasi jaringan parut lokasi terpusat pada region perihiliar paru. Pada tahap lanjut, interstisial bilateral difus dan alveolar infiltrate menjadi bukti dan dapat melibatkan semua lobus paru. Infiltrate ini sering digambarkan sebagai kaca-tanah atau whiteouts. Ukuran jantung normal (berbeda dari edema paru kardiogenik).
GDA: seri membedakan gambaran kemajuan hipoksemia (penurunan PaO2 meskipun konsentrasi oksigen inspirasi meningkat). Hipokabnia (penurunan kadar CO2) dapat terjadi pada tahap awal sehubungan dengan kompensasi hiperventilasi. Hiperkabnia (PaCO2 lebih besar dari 50) menunjukkan kegagalan ventilasi. Alkalosis respiratori (pH lebih besar dari 7,45) dapat terjadi pada tahap dini, tetapi asidosis respiratori terjadi pada tahap lanjut sehubungan dengan peningkatan area mati dan penurunan kadar laktat darah, diakibatkan dari metabolic anaerob.
Tes fungsi paru: komplain paru dan volume paru menurun, khususnya FCR. Peningkatan ruang mati (Vd/Vt) dihasilkan oleh area dimana vasokontriksi dan mikroemboli telah terjadi.
Pengukuran pirau (Qs/Qt): mengukur aliran darah pulmonal versus aliran darah sistemik, yang memberikan ukuran klinis pirau intrapulmonal. Pirau kanan ke kiri meningkat.
Gradien alveolar-arterial (gradien A-a): memberikan perbandingan tegangan oksigen dalam alveoli dan darah arteri.Gradien A-a meningkat.
Kadar asam laktat: meningkat.

8.    Penatalaksanaan Medis
Pengobatan ARDS yang pertama-tama adalah pencegahan, karena ARDS tidak pernah merupakan penyakit primer tetapi timbul setelah penyakit lain yang parah. Apabila ARDS tetap timbul, maka pengobatannya adalah:
a.     Diuretik untuk mengurangi beban cairan, dan obat-obat perangsang jantung untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan volume sekuncup agar penimbungan cairan di paru berkurang. Penatalaksanaan cairan dan obat-obat jantung digunakan untuk mengurangi kemungkinan gagal jantung kanan.
b.     Terapi oksigen dan ventilasi mekanis sering diberikan.
c.      Kadang-kadang digunakan obat-obat anti-inflamasi untuk mengurangi efek merusak dari proses peradangan, walaupun efektifitasnya masih dipertanyakan.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1.    Pengkajian
a.    Aktivitas/istirahat
Gejala:
1)    Kekurangan energy/kelelahan
2)    Insomnia
b.    Sirkulasi
Gejala :
Riwayat adanya trauma pada paru dan syok, fenomena embolik (darah, udara, lemak)
Tanda :
1)    TD: dapat normal atau meningkat pada awal (berlanjut menjadi hipoksia): hipotensi terjadi pada tahap lanjut (syok) atau dapat factor pencetus seperti pada eklampsia.
2)    Frekuensi jantung : takikardia biasanya ada.
3)    Bunyi jantung : normal pada tahap dini: S2 (komponen paru) dapat terjadi.
4)    Disritmia dapat terjadi, tetapi EKG sering normal.
5)    Kulit dan membrane mukosa: pucat, dingin. Sianosis biasanya terjadi (tahap lanjut).
c.    Integritas EGO
Gejala :
1)    Ketakutan
2)    Ancaman perasaan takut.
Tanda :
1)    Gelisah
2)    Agitasi
3)    Gemetar
4)    mudah terangsang
5)     perubahan mental.
d.    Makanan/cairan
Gejala :
1)    kehilangan selera makan
2)    mual/muntah
Tanda :
1)    Edema
2)    perubahan berat badan.
3)    Berkurangnya bunyi usus.
e.    Neurosensori
Gejala/tanda :
1)    adanya trauma kepala.
2)    Mental lamban, disfungsi motor.
f.     Pernapasan
Gejala :
1)    adanya aspirasi, inhalasi asap/gas, infeksi disfus paru.
2)    Timbul tiba-tiba atau bertahap, kesulitan napas, lapar udara.

Tanda :
1)    pernapasan: cepat, mendengkur, dangkal.
2)    Peningkatan kerja napas; penggunaan otot aksesori pernapasan, contoh retraksi interkostal atau substernal, pelebaran nasal, memerlukan oksigen konsentrasi tinggi.
3)    Bunyi napas : pada awal normal. Krekels, ronki, dan dapat terjadi bunyi napas bronchial.
4)    Perkusi dada: bunyi pekak di atas area konsolidasi.
5)    Ekspansi dada menurun atau tak sama.
6)    Peningkatan fremitus (getar vibrasi pada dinding dada dengan palpatasi).
7)    Sputum sedikit, berbusa.
8)    Pucat atau sianosis.
9)    Penurunan mental, bingung.
g.    Keamanan
Gejala :
riwayat trauma ortopedik/fraktur, sepsis, transfuse darah, episode anafilaktik.
h.    Seksualitas
Gejala/tanda :
kehamilan dengan adanya komplikasi eklampsia.
2.    Diagnosa Keperawatan
a.    Bersihan jalan napas tidak efektif  berhubungan dengan:
1)     Kehilangan fungsi silia jalan napas (hipoperfusi).
2)     Peningkatan jumlah/viskositas secret paru.
3)     Meningkatnya tahanan jalan napas (edema interstisial).
Ditandai dengan:
1)     Laporan dispnea
2)     Perubahan kedalaman/frekuensi pernapasan, penggunaan otot aksesori untuk bernapas.
3)     Batuk (efektif atau tidak efektif) dengan/tanpa produksi sputum.
4)     Ansietas/gelisah.
b.    Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan:
1)     Akumulasi protein dan cairan dalam interstisial/area alveolar.
2)     Hipoventilasi alveolar.
3)     Kehilangan surfaktan menyebabkan kolaps alveolar.
Ditandai dengan:
1)     Takipnea, penggunaan otot aksesori, sianosis.
2)     Perubahan GDA, gradien A-a, dan tindakan pirau.
3)     Ketidakcocokan ventilasi/perfusi dengan peningkatan ruang mati dan pirau intrapulmonal.
c.    Kelebihan volume cairan berhubungan dengan:
1)    Gangguan mekanisme regulasi
2)    Kelebihan asupan cairan
3)    Kelebihan asupan natrium
Ditandai dengan:
1)    Edema
2)    Gangguan elektrolit
3)    Perubahan pola pernapasan
4)    Asupan melebihi haluaran
5)    Efusi pleura
6)    Dispnea
d.    Ansietas berhubungan dengan:
1)    Krisis situasi
2)    Ancaman/perubahan status kesehatan
3)    Faktor psikologis (hipoksemia)
Ditandai dengan:
1)    Menyatakan masalah sehubungan dengan perubahan kejadian hidup.
2)    Peningkatan tegangan dan tak berdaya.
3)    Ketakutan, takut, gelisah.
e.    Kurangnya pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, kebutuhan terapi berhubungan dengan:
a.    Kurang informasi.
b.    Kesalahan interpretasi informasi.
c.    Kurang mengingat.
Ditandai dengan:
1)     Permintaan informasi.
2)     Pernyataan masalah.


3.    Rencana Keperawatan
Diagnosa Keperawatan: Bersihan jalan nafas tidak efektif
Berhubungan dengan:
a.      Kehilangan fungsi silia jalan napas (hipoperfusi).
b.      Peningkatan jumlah/viskositas secret paru.
c.      Meningkatnya tahanan jalan napas (edema interstisial).
Ditandai dengan:
a.      Laporan dispnea
b.      Perubahan kedalaman/frekuensi pernapasan, penggunaan otot aksesori untuk bernapas.
c.      Batuk (efektif atau tidak efektif) dengan/tanpa produksi sputum.
d.      Ansietas/gelisah.
Kriteria hasil:
a.      Menyatakan/menunjukkan hilangnya dispnea.
b.      Mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih/tak ada ronki.
c.      Mengeluarkan secret tanpa kesulitan.
d.      Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki/mempertahankan bersihan jalan napas.
Intervensi
Rasional
Mandiri:
a.      Catat perubahan upaya dan pola bernapas.


b.      Observasi penurunan ekspansi dinding dada dan adanya/peningkatan fremitus.




c.      Catat karakteristik bunyi napas.











d.      Catat karakteristik batuk (missal, menetap, efektif/tak efektif) juga produksi dan karakteristik sputum.


e.      Pertahankan posisi tubuh/kepala tepat dan gunakan alat jalan napas sesuai kebutuhan

f.       Bantu dengan batuk/napas dalam, ubah posisi dan penghisapan sesuai indikasi.

Mandiri:
a.     Penggunaan otot interkosta/abdominal dan pelebaran nasal menunjukkan peningkatan upaya bernapas.
b.      Ekspansi dada terbatas atau tak sama sehubungan dengan akumulasi cairan, edema, dan secret dalam seksi lobus. Konsolidasi paru dan pengisian cairan dapat meningkatkan fremitus.
c.      Bunyi napas menunjukkan aliran udara melalui pohon trakeobronkial dan dipengaruhi oleh adanya cairan, mucus, atau obstruksi aliran udara lain. Mengi dapat merupakan bukti konstriksi bronkus atau penyempitan jalan napas sehubungan dengan edema. Ronki dapat jelas tanpa batuk dan menunjukkan pengumpulan mukus pada jalan napas.
d.      Karakteristik batuk dapat berubah tergantung pada penyebab/etiologi gagal pernapasan. Sputum, bila ada mungkin banyak, kental, berdarah, dan atau purulen.
e.      Memudahkan memelihara jalan napas atau paten bila jalan napas pasien dipengaruhi mis., gangguan tingkat kesadaran, sedasi dan trauma maksilofasial.
f.       Pengumpulan sekresi mengganggu ventilasi atau edema paru dan bila pasien tidak diintubasi, peningkatan masukan cairan oral dapat mengencerkan/meningkatkan pengeluaran.

Kolaborasi:
a.      Berikan oksigen lembab, cairan IV: berikan kelembaban ruangan yang tepat.
b.      Berikan terapi aerosol, nebulizer ultrasonic.



c.      Bantu dengan/berikan fisoterapi dada, contoh drainase postural: perkusi dada/vibrasi sesuai indikasi.



d.      Berikan bronkidilator, contoh aminofilin, albuterol (proventil): isoetarin (bronkosol) dan agen mukolitik, contoh asetikistein (Mucomyst), guaifenesin (Robitussin).
e.      Awasi untuk efek samping merugikan dari obat, contoh takikardia, hipertensi, tremor, insomnia.
Kolaborasi:
a.    Kelembaban menghilangkan dan memobilisasi secret dan meningkatkan transport oksigen.
b.      Pengobatan dibuat untuk mengirimkan oksigen/bonkodilatasi/kelembaban dengan kuat pada alveoli dan untuk memobilisasi secret.
c.      Meningkatkan drainase/ eliminasi secret paru ke dalam sentral bronkus, dimana dapat lebih siap dibatukan atau dihisap keluar. Meningkatkan efesiensi penggunaan otot pernapasan dan membantu ekspansi alveoli.
d.      Obat diberikan untuk menghilangkan spasme bronkus, menurunkan viskositas secret, memperbaiki ventilsi dan memudahkan pembuangan secret.
e.      Memerlukan perubahan dosis/pilihan obat.


Diagnosa Keperawatan: Gangguan pertukaran gas
Berhubungan dengan:
a.      Akumulasi protein dan cairan dalam interstisial/area alveolar.
b.      Hipoventilasi alveolar.
c.      Kehilangan surfaktan menyebabkan kolaps alveolar.
Ditandai dengan:
a.      Takipnea, penggunaan otot aksesori, sianosis.
b.      Perubahan GDA, gradien A-a, dan tindakan pirau.
c.      Ketidakcocokan ventilasi/perfusi dengan peningkatan ruang mati dan pirau intrapulmonal.
Kriteria hasil:
a.      Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernapasan.
b.      Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam kemampuan/situasi.
Intervensi
Rasional
Mandiri:
a.      Kaji status pernapasan dengan sering, catat peningkatan frekuensi/upaya pernapasan atau perubahan pola napas.


b.      Catat adanya/tidak adanya bunyi napas dan adanya bunyi tambahan, contoh krokels, mengi.







c.      Kaji adanya sianosis









d.      Observasi kecendrungan tidur, apatis, tidak perhatian, gelisah, bingung, somnolen.


e.      Auskultasi frekuensi jantung dan irama.


f.       Berikan periode istirahat dan lingkungan tenang.
g.      Tunjukkan/dorong penggunaan napas bibir bila diindikasikan.



h.     Berikan oksigen lembab dengan masker CPAP sesuai indikasi.


i.       Bantu dengan/berikan tindakan IPPB.








j.        Kaji seri foto dada.

k.      Awasi/gambarkan seri GDA/oksimetri nadi.




l.       Berikan obat sesuai indikasi contoh steroid, antibiotic, bronkodilator, ekspektoran.
Mandiri:
a.    Takipnea adalah mekanisme kompensasi untuk hipoksemia dan peningkatan upaya pernapasan dapat menunjukkan derajat hipoksemia.

b.      Bunyi napas dapat menurun, tidak sama atau tak ada pada area yang sakit. Kreleks adalah bukti peningkatan cairan dalam area jaringan sebagai akibat peningkatan permeabilitas membrane alveolar-kapiler. Mengi adalah bukti kronstriksi bronkus dan/atau penyempitan jalan napas sehubungan dengan mukus/edema.
c.      Penurunan oksigenasi bermakna (desaturasi 5g hemoglobin)terjadi sebelum sianosis. Sianosis sentral dari “organ” hangat, contoh lidah, bibir, dan daun telinga adalah paling indikatif dari hipoksemia sistemik. Sianosis perifer kuku/ekstreminitas sehubungan dengan vasokontriksi.
d.      Dapat menunjukkan berlanjutnya hipoksemia dan/atau asidosis.



e.      Hipoksemia dapat menyebabkan mudah terangsang pada miokardium, menghasilkan berbagai disritmia.
f.       Menghemat energy pasien, menurunkan kebutuhan oksigen.
g.      Dapat membantu khususnya untuk pasien yang sembuh dari penyakit lama/berat, mengakibatkan destruksi parenkim paru.
h.     Memasimalkan sediaan oksigen untuk pertukaran, dengan tekanan jalan napas positif kontinu.
i.       Meningkatkan ekspansi penuh paru untuk memperbaiki oksigenasi dan untuk memberikan obat nebulizer ke dalam jalan napas. Intubasi dan dukungan ventilasi diberikan bila PaO2 kurang dari 60 mmHg dan tidak berespons terhadap peningkatan oksigen murni (FIP2).
j.        Menunjukkan kemajuan atau kemunduran kongesti paru.
k.      Menunjukkan ventilasi/oksigenasi dan status asam/basa. Digunakan sebagai dasar evaluasi keefektifan terapi atau indicator kebutuhan perubahan terapi.
l.       Pengobatan untuk SDPD sangat mendukung lebih besar atau dibuat untuk memperbaiki penyebab SDPD dan mencegah berlanjutnya dan potensial komplikasi fatal hipoksemia. Steroid menguntungkan dalam menurunkan inflamasi dan meningkatkan produksi surfaktan. Bonkodilator/ekspektoran meningkatkan bersihan jalan napas. Antibiotic dapat diberikan pada adanya infeksi paru/sepsis untuk mengobati pathogen penyebab.


Diagnosa Keperawatan: Kelebihan volume cairan
Berhubungan dengan:
a.      Gangguan mekanisme regulasi
b.      Kelebihan asupan cairan
c.      Kelebihan asupan natrium
Ditandai dengan:
a.      Edema
b.      Gangguan elektrolit
c.      Perubahan pola pernapasan
d.      Asupan melebihi haluaran
e.      Efusi pleura
f.       Dispnea
Kriteria hasil:
Mendemonstrasikan volume cairan stabil dengan keseimbangan masukan/keluaran, berat stabil, tanda-tanda vital dalam batas normal dan tidak ada edema.
Intervensi
Rasional
Mandiri:
a.      Pantau pemasukan/pengeluaran. Hitung keseimbangan cairan, catat kehilangan kasat mata. Timabang berat badan sesuai indikasi.
b.      Evaluasi turgor kulit, kelembaban membran mukosa, adanya edema dependen/umum
c.      Pantau tanda vital (tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan). Auskultasi bunyi napas, catat adanya krekel.





d.      Kaji ulang kebutuhan cairan






e.      Hilangkan tanda bahaya dan ketahui dari lingkungan.
f.       Anjurkan pasien untuk minum dan makan dengan perlahan sesuai indikasi.
Mandiri:
a.     Evaluator langsung status cairan. Perubahan tiba-tiba pada berat badan dicurigai kehilanagn/retensi cairan.


b.     Indicator langsung satatus cairan/perbaikan keseimbangan.

c.      Kekurangan cairan mungkin dimanisfestasikan oleh hipotensi dan takikardi, karena jantung mencoba untuk mempertahankan curah jantung. Kelebihan cairan/terjadinya gagal mungkin dimanifestasikan oleh hipertensi, takikardi, takipnea, krekels, distress pernafasan.
d.     Tergantung pasa situasi, cairan dibatasi atau diberikan terus. Pemberian informasi melibatkan pasien pada pembuatan jadwal dengan kesukaan individu dan meningkatkan rasa terkontrol dan kerjasama dalam program.
e.     Dapat menurunkan rangsanagan pusat muntah.
f.       Dapat menurunkan terjadinya muntah bila mual.

Kolaborasi:
a.      Berikan cairan IV melalui alat control


b.      Pemberian anti emetic, contoh: proklorperazin meleat (compazine), trimetobenzamid (tigan), sesuai indikasi.

c.      Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, contoh: Hb/Ht, BUN/kreatinin, protein plasma, elektrolit.
Kolaborasi:
a.     Cairan dapat dibutuhkan untuk mencegah dshidrasi, meskipun pembatasan cairan mungkin diperlukan bila pasien GJK
b.     Dapat membantu menurunkan mual/muntah (berkerja pada sentral, dari pada dig aster) meningkatkan pemasukan cairan/makanan
c.      Mengevaluasi satus hidrasi, fungsi ginjal dan penyebab/efek ketidak seimbangan


Diagnosa Keperawatan: Ansietas
Berhubungan dengan:
a.      Krisis situasi.
b.      Ancaman untuk/perubahan status kesehatan; tskut mati.
c.      Factor psikologis (efek hipoksemia).
Ditandai dengan:
a.      Menyatakan masalah sehubungan dengan perubahan kejadian hidup.
b.      Peningkatan tegangan dan tak berdaya.
c.      Ketakutan, takut, gelisah.
Kriteria hasil:
a.      Menyatakan kesadaran terhadap ansietas dan cara sehat untuk mengatasinya.
b.      Mengakuai dan mendiskusikan takut.
c.      Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat ditangani.
d.      Menunjukkan pemecahan masalah dan penggunaan sumber efektif.
Intervensi
Rasional
Mandiri:
a.      Observasi peningkatan kegagalan pernapasan, agitasi, gelisah, emosi labil.
b.      Pertahankan lingkungan tenang dengan  sedikit rangsang. Jadwalkan perawatan dan prosedur untuk memberikan periode istirahat tak terganggu.
c.      Tunjukkan/bantu dengan teknik relaksasi, meditasi, bimbingan imajinasi.
d.      Identifikasi persepsi pasien terhadap ancaman yang ada oleh situasi.

e.      Dorong pasien untuk mengakui dan menyatakan perasaan.




f.       Akui kenyataan stress tanpa menyangkal atau meyakinkan bahwa segalanya akan baik. Berikan informasi tentang tindakan yang akan diambil untuk memperbaiki/menghilangkan kondisi.

g.      Identifikasi teknik yang telah digunakan pasien sebelumnya untuk mengatasi ansietas.

h.     Bantu orang terdekat untuk berespons positif pada pasien/situasi.



Mandiri:
a.      Memburuknya hipoksemia dapat menyebabkan atau meningkatkan ansietas.
b.      Menurunkan ansietas dengan meningkatkan relaksasi dan penghematan energy.


c.      Memberikan kesempatan untuk pasien menangani ansietasnya sendiri dan merasa terkontrol.
d.      Membantu pengenalan ansietas /takut dan mengidentifikasi tindakan yang dapat membantu untuk individu.
e.      Langkah awal dalam mengatasi perasaan adalah terhadap identifikasi dan ekspresi. Mendorong penerimaan situasi dan kemampuan diri untuk mengatasi.
f.       Membantu pasien menerima apa yang terjadi dan dapat menurunkan tingkat ansietas/takut karena tak tahu. Salah meyakinkan tidak membantu, karena baik perawat dan pasien mengetahui hasil akhirnya.

g.      Focus perhatian pada keterampilan pasien yang telah dilalui, meningkatkan rasa control diri.
h.     Meningkatkan penurunan ansietas melihat orang lain tetap tenang. Karena ansietas dapat menular, bila orang terdekat/staf memperlihatkan ansietas mereka, kemampuan koping pasien dapat dengan mudah dipengaruhi.


Kolaborasi:
Berikan sedative sesuai indikasi dan awasi efek merugikan
Kolaborasi:
Mungkin diperlukan untuk membantu menangani ansietas dan meningkatkan istirahat. Namun efek samping seperti depresi pernapasan sapat membatasi atau kontraindiksi untung menggunakannya.

Diagnosa Keperawatan: Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, kebutuhan terapi
Berhubungan dengan:
a.      Kurang informasi.
b.      Kesalahan interpretasi informasi.
c.      Kurang mengingat.
Ditandai dengan:
a.      Permintaan informasi.
b.      Pernyataan masalah
Kriteria hasil:
a.      Menjelaskan hubungan antara proses penyakit dan terapi.
b.      Menggambarkan/menyatakan diet, obat, dan program aktivitas.
c.      Mengidentifikasi dengan benar tanda dan gejala yang memerlukan perhatian medic.
d.      Membuat rencana untuk perawatan lanjut.
Intervensi
Rasional
Mandiri:
a.      Pacu belajar untuk memenuhi kebutuhan pasien. Berikan informasi dalam cara yang jelas/ringkas. Kaji potensial kerjasama dalam program pengobatan dirumah. Termasuk orang terdekat sesuai indikasi.



b.      Berikan informasi yang berpusat pada penyebab/timbulnya proses penyakit pada pasien/orang terdekat.


c.      Anjurkan dalam tindakan pencegahan, bila diperlukanDiskusikan menghindar kerja berlebihan dan pentingnya mempertahankan periode istirahat teratur. Hindari lingkungan dingin dan orang yang sedang infeksi.
d.      Berikan informasi verbal dan tertulis tentang obat, contoh tujuan, efek samping, rute, dosis, jadwal.
e.      Kaji konseling nutrisi tentang rencana makan; kebutuhan makanan tinggi kalori.



f.       Berikan pedoman untuk aktivitas.





g.      Tunjukan teknik bernapas adaptif dan cara menurunkan kebutuhan energy selama melakukan aktivitas sehari-hari.
h.     Diskusikan evaluasi perawatan, contoh kunjungi dokter, tes diagnostic fungsi paru, dan tanda/gejala yang memerlukan evaluasi/intervensi,



i.       Bantu membuat rencana memenuhi kebutuhan individu setelah pulang.
Mandiri:
a.      Sembuh dari gangguan gagal paru dapat sangat menghambat lingkup perhatian pasien, konsentrasi dan energy untuk penerimaan informasi/tugas baru. Khususnya orang terdekat memerlukan keterlibatan bila proses penyakit berat atau berubah untuk batasan kesembuhan.
b.      SDPD/ARDS adalah komplikasi dari proses lain, bukan diagnose utama. Pasien/orang terdekat sering bingung dengan terjadinya pada sistem pernapasan “sehat” sebelumnya.
c.      Penurunan tahanan menetap selama periode waktu setelah operasi. Kontrol/menghindari pemajanan pada factor lingkungan, seperti asap/debu, reaksi alergis, atau infeksi diperlukan untuk menghindari komplikasi lanjut.

d.      Pemberian instruksi penggunaan obat yang aman memampukan pasien untuk mengikuti dengan tepat program pengobatan.
e.      Pasien dengan masalah pernapasan berat biasanya mengalami penurunan berat badan dan anoreksia sehingga memerlukan peningkatan nutrisi untuk penyembuhan.
f.       Pasien harus menghindari terlalu lelah dan mengimbangi periode istirahat dan aktivitas untuk meningkatkan regangan/stamina dan mencegah konsumsi/kebutuhan oksigen berlebihan.
g.      Kondisi lemah dapat membuat kesulitan untuk pasien menyelesaikan tindakan sedarhana pun.
h.     Pemahaman alasan dan kebutuhan mengikuti evaluasi perawatan, juga kebutuhan untuk perhatian medic meningkatkan partisipasi pasien dan dapat meningkatkan kerjasama dengan program pengobatan.
i.       Memungkinkan kembali ke rumah sementara tetap memberikan dukungan yang diperlukan selama periode penyembuhan/perbaikan.

4.    Implementasi
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang telah dibuat.

5.    Evaluasi
No
Diagnosa Keperawatan
Evaluasi
1
Bersihan jalan tidak efektif
a.      Menyatakan/menunjukkan hilangnya dispnea.
b.      Mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih/tak ada ronki.
c.      Mengeluarkan secret tanpa kesulitan.
d.      Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki/mempertahankan bersihan jalan napas.
2
Gangguan pertukaran gas
a.      Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernapasan.
b.      Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam kemampuan/situasi.
3
Kelebihan volume cairan
Mendemonstrasikan volume cairan stabil dengan keseimbangan masukan/keluaran, berat stabil, tanda-tanda vital dalam batas normal dan tidak ada edema.
4
Ansietas
a.      Menyatakan kesadaran terhadap ansietas dan cara sehat untuk mengatasinya.
b.      Mengakuai dan mendiskusikan takut.
c.      Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat ditangani.
d.      Menunjukkan pemecahan masalah dan penggunaan sumber efektif.
5
Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, kebutuhan terapi
a.      Menjelaskan hubungan antara proses penyakit dan terapi.
b.      Menggambarkan/menyatakan diet, obat, dan program aktivitas.
c.      Mengidentifikasi dengan benar tanda dan gejala yang memerlukan perhatian medic.
d.      Membuat rencana untuk perawatan lanjut.




BAB III
PENUTUP

A.   KESIMPULAN
Acute Respiratory Distress Syndrome merupakan keadaan gagal napas yang timbul secara mendadak. Sulit untuk membuat definisi secara tepat, karena patogenensisinya belum jelas dan terdapat banyak faktor redis posisi seperti syok karena perdarahan, sepsis, ruda paksa/trauma pada paru atau bagian tubuh lainnya, pankteatitis akut, aspirasi cairan lambung, intoksikasi heroin, atau metadon.
 ARDS biasanya membutuhkan ventilasi mekanik yang lebih tinggi dari tekanan jalan napas normal. Terdapat kisaran yang luas dari faktor yang berkaitan dengan terjadinya ARDS termasuk cedera langsung pada paru (seperti inhalasi asap) atau gangguan tidak langsung pada tubuh (seperti syok).

B.   SARAN
Dalam keterbatasan yang penulis miliki, tentunya makalah ini sangat jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, masukan / saran yang baik sangat diharapkan guna memperbaiki dan menunjang proses perkuliahan.














DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8 vol.1.Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Herdman,T.Heather. 2013. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2013. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Doenges,Marilyn.dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Price, Silvia. A. dan Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar